http://zaijoni.blogspot.com
PENDIDIKAN ISLAM:
MADRASAH VERSUS PESANTREN
Oleh: ZAIJONI,
AMRISAL, DARMAWAN, DESTIWARNI, dan II EKA PUTRI
A.
PENDAHULUAN
Pesantren, pondok
pesantren, atau disebut pondok saja, adalah sekolah islam berasrama yang
terdapat di Indonesia. Pendidikan di pesantren bertujuan untuk memperdalam
pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan
tata bahasanya.
Para pelajar pesantren
disebut sebagai santri. Mereka tinggal di asrama yang disediakan oleh pesantren
sebagai tempat penginapan selama menuntut ilmu di pesantren tersebut. Institusi
sejenis juga terdapat di negara-negara lainnya; misalnya di Malaysia dan
Thailand Selatan yang disebut sekolah pondok, serta di India dan Pakistan yang
disebut madrasah islamiah.
Bentuk lembaga
pendidikan lainnya yang terdapat di Indonesia adalah madrasah. Seperti halnya
pesantren, istilah ”madrasah” juga diambil dari bahasa Arab yang artinya juga
tempat belajar. Kendati demikian, dalam banyak hal antara kedua lembaga
tersebut memiliki perbedaan yang cukup mendasar jika ditinjau dari sistem
pendidikannya.
Sebagai sebuah sistem,
pendidikan terdiri dari beberapa komponen yang saling mendukung satu sama lain
untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Hal ini berarti pesantren sebagai
sebuah sistem pendidikan terdiri dari beberapa komponen. Demikian halnya
madrasah sebagai sebuah sistem pendidikan.
Salah satu komponen
pendidikan yang akam disorot dalam makalah ini adalah kurikulum. Untuk itu
pemakalah bermaksud melihat sisi-sisi perbedaan dan persamaan kurikulum
pesantren dan madrasah melalui karakteristik kurikulum masing-masing lembaga
yang dirumuskan melalui sebuah pertanyaan apa saja yang menjadi karakteristik
kurikulum pesantren dan apa pula yang menjadi karakteristik kurikulum madrasah?.
Sebelum menjawab, pertanyaan tersebut, terlebih dahulu dipaparkan secara
ringkas apa sesungguhnya hakikat pesantren dan madrasah itu sendiri.
B.
SEKILAS
TENTANG PESANTREN dan MADRASAH
1. Pesantren
Istilah ”pesantren” berasal
dari kata pe-”santri”-an, di mana kata ”santri” berarti murid. Istilah ”pondok”
berasal dari bahasa Arab ”funduq” (فندوق) yang
berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut dengan dayah.
Pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren,
kyai menunjuk beberapa santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka
disebut ”lurah pondok”. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan
keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri sekaligus dapat
meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lain
mengatakan pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat
santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau
mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian
dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.
Istilah santri juga ada
dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg (dalam Fatah,
2005: 11) berpendapat bahwa Istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang
sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan
kata ”saint” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong), sehingga
kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Pondok pesantren adalah
salah satu lembaga pendidikan Islam tertua yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Lembaga ini telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad (mulai dari abad
ke-15 hingga sekarang) dan sejak awal berdirinya menawarkan pendidikan kepada
mereka yang masih buta huruf. Pesantren pernah menjadi satu-satunya institusi
pendidikan milik masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar
dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultural
literacy). Jalaluddin (1990:9) bahkan mencatat bahwa paling tidak pesantren telah memberikan dua
macam kontribusi bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, adalah
melestarikan dan melanjutkan sistem pendidikan rakyat, dan kedua, mengubah
sistem pendidikan aristokratis menjadi sistem pendidikan demokratis.
Pesantren pada mulanya
merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun,
dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang
tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejelan
materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).
Pondok Pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam tertua sebagai produk budaya Indonesia. Keberadaan
Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan
mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang telah lama berkembang sebelum
kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat berakar di
negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap
perjalanan sejarah bangsa (Haedari, 2007: 3).
Banyak pesantren di
Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun
beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski
begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis,
pesantren modern jauh lebib murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling
banyak memiliki pesantren adalah Nandlatul Ulama (NU), Al-Washliyah dan
Hidayatullah.
Terdapat pula suatu
pondok pesantren induk yang mempunyai cabang di daerah lain, dan biasanya
dikelola oleh alumni pondok pesantren induk tersebut. Sebagai contoh, Pondok
Pesantren Modern Darussalam Gontor yang terletak di Ponorogo Jawa Timur
mempunyai cabang pondok alumi, antara lain: Pondok Pesantren Modern Al-Risalah
di Slahung, yang dipimpin oleh KH Ma’sum Yusuf, Pondok Modern Al-Salam Sukabumi
di Sukabumi Jawa Barat, yang dipimpin oleh K. Badrusyamsi, M.Pd.
2. Madrasah
2. Madrasah
Ditinjau Mari akar
katanya, istilah ”madrasah” merupakan isim makan dari kata darasa yang
berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atan mahasiswa
(umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan secara sempit,
tetapi juga bisa dimaknai dengan rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau,
masjid, dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah
pemula (Syarif, 1972:76).
Menurut Maksum, latar
belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan kepada dua
situasi, yaitu (Maksum, 1999: 82):
a.
Gerakan
Pembaharuan Islam di Indonesia
Gerakan pembaharuan islam
di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatar belakangi oleh kesadaran
dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan Steenbrink (1986:78-79) dengan
mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaharuan islam di
Indonesia, yaitu:
1)
keinginan untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
2)
Semangat nasionalisme
dalam melawan penjajah.
3)
Memperkuat basis
gerakan sosial, budaya dan politik.
4)
Pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia.
Hanya saja lanjut
Steenbrink (1986: 26-29) keempat faktor itu tidak secara terpadu mendorong
gerakan pembaharuan, melainkan gerakan-gerakan pembaharuan yang muncul di
Indonesia, disebabkan oleh salah satu atau dua faktor tersebut. Dengan kata
lain, gerakan-gerakan pembaharuan islam di Indonesia memiliki alasan dan motif
yang berbeda-beda.
Bagi tokoh-tokoh
pembaharuan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis
untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, bermunculan
madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaharuan islam yang dimulai oleh
usaha beberapa orang tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan
oleh organisisi organisasi Islam.
b.
Respon
pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda
Pertama kali bangsa
Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam
Nusantara yang sangat banyak, maka tujuan utama berdagang tadi berubah untuk
menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus
dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu: Glory
(kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas dan kekayaan bangsa Indonesia),
dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia (Mustafa,
1998:94).
Dalam menyebarkan
misi-misinya itu, Belanda (VOC) mendirikan sekolah-sekolah kristen. Misalnya di
Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar
pulau-pulau Ambon. Di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada
sekitar 30 sekolah (Mustafa, 1998:94). Dengan demikian, untuk daerah Batavia
saja, sekolah Kristen sudah bejumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilah
Belanda menanamkan pengaruhnya di negeri jajahan.
Pada perkembangan selanjutnya
di awal abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz, sistem
pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan sebatas
bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini
dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.
Dengan terbukanya
kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang
diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam, mendapat tantangan dan
saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda
dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan,
kurikulum, metodologi, sarana dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian
jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide dikalangan intelektual Islam
untuk memberikan respon dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan
untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang
pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka
mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara
kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah
yang didirikan tersebut antara lain (Nizar, 2005: 55-57).
Pertama,
Madrasah Adabiyah (Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad pada tahun 1907 (Steenbrink, 1986:41) di Padang Panjang Sumatera
Barat.
Kedua,
Sekolah Agama (Madras School). Madrasah School didirikan pada tahun 1910
oleh M. Thaib Umar di Sungayang Batusangkar.
Ketiga,
Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan tanggal 10
Oktober 1915 (Steenbrink, 1986:44), oleh Zainuddin Labay El Yunusi di Padang
Panjang.
Keempat,
Arabiyah School, didirikan tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas
(Steenbrink, 1986:64).
Kelima,
Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib secara formal membuka madrasah di Padang
Panjang pada tahun 1921 di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah.
C.
Kurikulum
Sebagai Salah Satu Komponen pendidikan
Kurikulum merupakan
salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan. karena
itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus pedoman
dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan satuan pendidikan.
Menurut Langgulung
(1986:176), kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir
yang berarti pelari, dan kata curere yang artinya tempat berpacu. Jadi
istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani
yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari
garis star sampai finish.
Dalam Undang-undang nomor
20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikam Nasional disebutkan bahwa kurikulum
adalah, seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Redaksi Sinar Grafika,
2003:2).
Menurut Hasbullah,
kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga
pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Untuk itu,
pelaksanaan kurikulum yang menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan,
barus memenuhi hal-hal sebagai berikut (Hasbullah, 2006:21) :
a. Tersedianya
tenaga pengajar (guru) yang kompeten.
b. Tersedianya
fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenangkan.
c. Tersedianya
fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar.
d. Adanya
tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing,
pustakawan, dan laboran.
e. Tersedianya
dana yang memadai.
f. Manajemen
yang efektif dan efisien.
g. Terpeliharanya
budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan, dan
lain-lain.
h. Kepemimpinan
pendidikan yang visioner, transparan, dan akuntabel.
Kurikulum mempunyai
aspek utama yang menjadi ciri-cirinya sebagaimana diungkapkan oleh Langgulung
(dalam Ramayulis, 2004:127-128) yaitu :
1) Tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu.
2) Pengetahuan
(knowledge) ilmu-ilmu data, aktivitas-aktivitasnya, dan pengalaman-pengalaman
dari mana terbentuk kurikulum itu.
3) Metode
dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti murid-murid untuk mendorong
mereka ke arah yang dikehendaki dari tujuan-tujuan yang dirancang
4) Metode
dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai basil proses
pendidikan yang dirancangkan dalam kurikulum.
Berdasarkan uraian di atas,
kurikulum merupakan suatu program pembelajaran yang tersusun secara sistematis
mencakup tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang dipergunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, fasilitas yang secara totalitas
terjalin dalam sebuah kesatuan yang integral untuk wencapai tujuan pendidikan.
D.
Perbandingan
Kurikulum Pesantren dan Madrasah
Pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu agama Islam saja umumnya disebut Pesantren Salaf/Salafi. Pola tradisional
yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai
mereka -bisa dengan mencangkul, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya-
dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.
Di Pesantren para
santri pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh
kegiatan, dimulai dari shalat subuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali
di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk
belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau
ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur’an.
Ada pula pesantren yang
mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih banyak
ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan
lainnya). Ini sering disebut dengan istilah ”pondok pesantren modern”, dan umumnya
tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan
pengendalian diri.
Pada pesantren dengan
materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para
santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk
tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah,
sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan
pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya
ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.
Pesantren kini tidak
lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based
curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh
persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Dengan
demikian, pesantren tidak bisa didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan
murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terns
merespon persoalan masyarakat di sekitarnya (Ishom, 2006:1).
Pembelajaran di pondok
pesantren para santri mempelajari ilmu-ilmu agama melalui kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab (kitab kuning). Hal tersebut merupakan cirri khas pondok
pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya yang ada di
Indonesia. Akan tetapi pada saat ini pondok pesantren sudah banyak melakukan
penambahan terhadap kurikulumnya. Artinya, ilmu-ilmu yang diajarkan di pondok
pesantren tersebut tidak lagi sekedar ilmu-ilmu pendidikan agama yang
didasarkan pada kitab kuning, tetapi ditambah dengan ilmu-ilmu umum dan
keterampilan-keterampilan lain seperti pelajaran bahasa Inggris, Matematika,
Fisika, Biologi, dan lain sebagainya. Di pesantren para santri juga dilatih
untuk memiliki keterampilan-keterampilan seperti menjahit, perbengkelan, peternakkan,
perkebunan, dan keterampilan lainnya (Bawani, 1993:90).
Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru
dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil
sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi
kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya
adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan
pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan
ilmu-ilmu umum (Ali, 1995:149).
Kurikulum sekolah yang
amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah
menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang
berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak
menarik, dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar serta guru
dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan pembelajaran
yang inovatif (Ali, 1995:22).
E.
Kesimpulan
Ditinjau dari sejarah
munculnya pesantren dan madrasah di Indonesia, pesantren lebih dahulu muncul
dibandingkan dengan madrasah. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan di
pesantren dapat dikatakan sebagai induk proses pendidikan yang berkembang saat
ini. Sejak awal, kurikulum pesantren yang lebih dominan berkaitan dengan
pelajaran keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab kuning berbahasa Arab.
Sedangkan pelajaran umum hampir sama sekali tidak dipelajari. Namun seiring
dengan tuntutan zaman, sudah ada sebagian pesantren yang memasukkan pelajaran
umum ke dalam kurikulumnya, sehingga lahirlah pesantren-pesantren modern yang
berupaya mengintegrasikan antara pengetahuan agama dan umum ke dalam
kurikulumnya. Di samping itu, kurikulum pesantren juga berupaya membekali para
santrinya dengan berbagai keterampilan hidup sebagai modal untuk terjun ke tengah-tengah
masyarakat setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren.
Sementara madrasah di
Indonesia yang mulai hadir di era pembaharuan, antara lain dilatarbelakangi
oleh ketidakpuasan terhadap lembaga pesantren yang semata-mata mengedepankan
pelajaran agama dan juga terhadap sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial
yang kering dengan nuansa agama. Selain itu, berdirinya sebagian madrasah tidak
terlepas dari proses perkembangan lebih lanjut dari kegiatan-kegiatan pengajian
yang berlangsung di surau-surau, rumah, pesantren, masjid dan lainnya. Oleh karena
itu, madrasah juga sudah mulai mengintegrasikan pelajaran-pelajaran umum dan
agama ke dalam kurikulumnya. Kendati demikian kebanyakan madrasah hanya
membekali peserta didiknya dengan informasi pengetahuan semata, sedangkan aspek
keterampilan seperti yang diajarkan di pesantren tidak terdapat pada madrasah.
KEPUSTAKAAN
Ali,
Muhammad Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1995
Bawani,
Imam, Tradisionalisme dalam pendidikan Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993
Fatah,
H. Rohadi Abdul dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan, Jakarta :
Listafariska Putra, 2005
Haedari,
H. Amin, Transformasi Pesantren, Jakarta : Media Nusantara, 2007
Hasbullah,
Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadup
Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
Ishom,
HS, Mastuki, el-Sha, M, Intelektualisme Pesantren, Jakarta : Diva
Pustaka, 2006
Jalaluddin,
Kapita Selekta pendidikan, Jakarta : Kalam Mulia, 1990
Langgulung,
Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi Pendidikon,
Jakarta : Pustaka al-Husna, 1986
Maksum,
Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos, 1999
Mustala,
H.A. dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung :
Pustaka Setia, 1998
Nizar,
Samsul, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : Potret Timur Tengah
Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2004
Redaksi
Sinar Grafika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2003
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2003
Steenbrink,
Karel A, Pesantren, Madrasah dan Sekolah : Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, Jakarta : LP3ES, 1986
Syarif,
Ahmad Ibrahim, Daulat al-Rasul fi al-Madinat, Quwait : Dar al-Bayan, 1972
1 komentar:
Making Money - Work/Tennis: The Ultimate Guide
The way you would expect หาเงินออนไลน์ from betting on the tennis matches of tennis aprcasino is to bet on the goyangfc player 출장안마 you like most. But you also need wooricasinos.info a different
Posting Komentar